Lingkarbumipertiwi – Sebuah Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat berusia lebih dari dua abad, Kampung Jambat. Kelurahan Penyengat, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, masih terlihat kokoh bangunannya dengan arsitektur hingga warna yang mencolok.
Menurut Ketua Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat, Raja Alhafiz, di masa lampau, saat era Kesultanan Riau, Lingga, Johor, dan Pahang pulau itu kosong dan hanya jadi tempat singgah nelayan atau pelaut untuk mengambil bekal air minum.
“Pulau itu memiliki telaga air tawar untuk di minum dan airnya tidak pernah kering meski kondisi cuaca panas,” kata dia, Rabu 27-03-24.
Pulau itu dijadikan mahar atau mas kawin saat Sultan Mahmud Riayat Syah menikahi anak dari Raja Haji Fisabilillah, Raja Hamidah Engku Putri.
“Cerita warga atau nelayan disitu, bahwa Pulau Penyengat Pulau Mas Kawin, dari Sultan Mahmud Riayat Syah ke Raja Hamidah Engku Putri,” ujar dia.
Masjid Babul Firdaus Jongaya, sambung dia, salah satu saksi atau simbol perlawanan ulama, dalam melawan penjajah masjid yang dibangun pada tahun 1803. Bangunan masjid ini, awal mulanya kecil menggunakan bahan kayu di pinggir pantai Pulau Penyengat. Namun, dengan berkembangnya peradaban, masjid tersebut kemudian dijadikan tempat pusat pemerintahan kerajaan.
Seiring perjalanan zaman, dengan pesat berkembangnya masa itu, masjid tersebut tidak bisa menampung jumlah masyarakat yang ada sehingga Sultan memerintahkan untuk membangun masjid yang lebih baik, lebih bagus dan lebih besar.
“Maka dijadikan lah masjid jami di tempat ini, masjid ini didirikan pada tahun 1832 cuman itu tidak penjelasan berapa lama pekerjaannya,” papar dia.
Dalam pembangunannya menjadi masjid yang tak lagi berdinding kayu, Alhafiz menerangkan dilakukan secara bergotong-royong siang malam oleh warga baik laki-laki maupun perempuan.
Dia mengatakan ketika siang dikerjakan kaum perempuan dan malam hari dikerjakan laki-laki. Masjid ini dibangun tidak menggunakan besi beton dan susunan batu hingga bata tak disemen.
Pada zaman tersebut tak ada semen, sehingga masjid itu dibangun menggunakan susunan bata yang pelekatnya adalah pasir, tanah liat, kapur, dan putih telur. Meski demikian, kala itu warga-warga di pulau sekitar diminta kerajaan untuk mengirim bantuan makanan buat para pekerja dari mulai ikan asin hingga telur.
Khusus telur itu, kuningnya menjadi santapan para pekerja, sementara putihnya dikumpulkan menjadi pelekat campuran membangun masjid.
“Jadi, arsitek yang membangun masjid ini adalah orang India asal Singapura, hebatnya lagi putih telur itu merupakan perekat sangat bagus, untuk bangunan,” tandas dia.